Minggu, 07 Juni 2015
Menikah di usia muda saat ini dianggap aneh. Bahkan, kadang menjadi
sorotan. Padahal, menikah di usia muda atau pernikahan dini memiliki
banyak maslahat bagi pemuda. Terlebih, pada era informasi dan
globalisasi sekarang ini yang godaan menjaga kehormatan dan kesucian
jauh lebih sulit daripada era-era sebelumnya.
Menikah di usia muda, seperti sabda Nabi, membuat pemuda lebih mudah
menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan. Beliau bersabda:
ﻳَﺎﻣَﻌْﺸَﺮَ ﺍﻟﺸَّﺒَﺎﺏِ : ﻣَﻦِ ﺍﺳْﺘَﻄَﺎﻉَ ﻣِﻨْﻜُﻢُ ﺍﻟْﺒَﺎﺀَﺓَ
ﻓَﻠْﻴَﺘَﺰَﻭَّﺝْ، ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﺃَﻏَﺾُّ ﻟِﻠْﺒَﺼَﺮِ ﻭَﺃَﺣْﺼَﻦُ ﻟِﻠْﻔَﺮْﺝِ
ﻭَﻣَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳَﺴْﺘَﻄِﻊْ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻪِ ﺑِﺎﻟﺼَّﻮْﻡِ، ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻟَﻪُ ﻭِﺟَﺎﺀٌ
“Wahai pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu maka
hendaknya menikah, karena ia lebih menundukkan pandangan dan lebih
memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaknya ia
berpuasa, sebab ia dapat mengekangnya.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits di atas, Rasulullah menggunakan istilah syabab yang
dalam bahasa Indonesia biasa
diterjemahkan menjadi pemuda. Siapakah yang
dimaksud syabab dalam hadits tersebut? Fauzil Adhim dalam buku Indahnya
Pernikahan Dini menjelaskan, syabab adalah sesesorang yang telah
mencapai masa aqil-baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun.
Masa aqil baligh ini umumnya telah dialami pada rentang usia sekitar
14-17 tahun. Salah satu tanda yang menjadi patokan aqil baligh adalah
datangnya ihtilam (mimpi basah). Akan tetapi, pada masa sekarang,
datangnya ihtilam sering tidak sejalan dengan telah cukup matangnya
pikiran. Sehingga generasi yang lahir pada zaman ini banyak yang telah
memiliki kematangan seksual tetapi belum memiliki kedewasaan berpikir.
Jika seorang laki-laki telah mencapai aqil-baligh dan memiliki
ba’ah, mampu menunaikan kewajiban baik batin maupun lahir (materi), ia
dianjurkan oleh Rasulullah untuk segera menikah. Jadi secara fisik ia
telah mengalami kematangan seksual, dari segi akal ia telah mencapai
kematangan berpikir (ditandai dengan sifat rasyid dasar yang mampu
mengambil pertimbangan sehat dalam memutuskan sesuatu dan
bertanggungjawab), dan dari segi maliyah ia bisa mencari nafkah, ia
disunnahkan untuk segera menikah meskipun usianya masih 20-an tahun.
Bagaimana dengan pemudi (wanita)? Untuk para gadis, syaratnya bahkan
lebih mudah. Sebab, ia tidak seperti laki-laki yang dibebani kewajiban
mencari nafkah. Sehingga, asalkan ia sudah aqil baligh (ditandai dengan
menstruasi) dan memiliki kematangan berpikir, ia boleh dan dianjurkan
untuk menikah. Tentu saja –bagi keduanya, pemuda maupun pemudi- bekal
agama yang sekaligus membuatnya dewasa dalam mengarungi bahtera rumah
tangga perlu untuk dimiliki.
Karena itulah kita mendapati di dalam sirah nabawiyah dan sirah
shahabiyah, para shahabat dan para shahabiyah telah menikah di usia
mereka yang masih sangat muda. Fatimah Az Zahra menikah pada usia 19
tahun, sedangkan Ali bin Abu Thalib saat itu berusia 25 tahun.
Rasulullah sendiri juga menikah di usia 25 tahun.
Jika Ali dan Fatimah menikah pada saat keduanya di usia muda,
pernikahan dalam Islam tidak selalu seperti itu. Rasulullah yang menikah
pada usia 25 tahun, saat itu istri beliau Khadijah telah berusia 40
tahun.
Yang terkenal menikah di usia paling muda adalah ummul mukminin
Aisyah. Menurut sebagian riwayat, beliau dinikahi Nabi pada usia 7 tahun
kemudian mulai berumah tangga pada usia 9 tahun. Tetapi ada data
berbeda yang menyebutkan bahwa beliau dinikahi oleh Rasulullah pada usia
14 tahun. Wallahu a’lam bish shawab.
Seperti Rasulullah dan Aisyah yang usianya terpaut jauh, Utsman bin
Affan juga pernah menikah dengan gadis belia. Saat rambut Utsman telah
memutih, beliau menikah dengan Nailah yang masih berusia 18 tahun. Namun
begitulah, Islam menghadirkan kebahagiaan dalam rumah tangga tanpa
peduli usia. Menikah dengan sesama usia muda mengandung banyak berkah.
Namun, menikah saat muda dengan pasangan yang jauh lebih dewasa juga
terbukti tidak bermasalah. Dari niat, segalanya dimulai. Dan dari niat,
Allah menilai.
0 komentar:
Posting Komentar